Mentawîl Ayat-ayat Sifat Adalah Mazhab Salaf Shaleh.
Ada dua poin yang perlu dicermati dengan teliti,
Pertama, mazhab Wahhabi kental dengan faham Tasybîh dan
Tajsîm dalam memahami nash-nash tentang sifat Allah SWT. tetapi mereka
selalu mengelaknya dan berbelit-belit dalam membela diri. Kedua, mereka
mengklaim bahwa faham mereka itu adalah representatif faham para sahabat Nabi
dan tabi’în serta Salaf Ummat ini.
Dalam klaim mereka para sahabat dan tabi’în dalam menyikapi
ayat-ayat atau hadis-hadis sifat adalah memberlakukan pemaknaannya dengan makna
lahiriyah yang dikesankan oleh lahir lafadznya. Kata عينٌ - ساقٌ- يَدٌ- dan semisalnya harus
dimaknai secara lahiriyah apa adanya tanpa memasukkan unsur majazi yang akrab
dipergunakan dalam sastra Arab. Kata يدٌ harus dimaknai tangan, kata عينٌ harus dimaknai mata, dan kata ساق harus dimaknai betis. Ketika kata-kata itu
dipergunakan untuk menyebut sifat Allah SWT. maka
arti yang sama pula harus kita fahami darinya.
Dasar pemahaman seperti ini tidak asing dalam pola pikir Sekte
Wahhabiyah dan dapat dengan mudah kita temukan keterangan dan uraiannya dalam
buku-buku akidah mereka. Jadi tidak perlu rasanya saya menyebutkannya lagi dari
keterangan mereka. Artikel ini, tidak bermaksud menyalahkan atau mendukung pola
pandang seperti itu. Hanya saja yang menjadi sorotan artikel kali ini adalah
apakah benar para sahabat dan tabi’în (Salaf Shaleh) berfaham seperti itu?
Sepertinya, para arsitek Sekte Wahhabiyah perlu mencari pembelaan bahwa mazhab
mereka dalam masalah sifat Allah ini adalah memiliki akar historis yang
menyambungkannya kepada generasi awal Islam yang cemerlang… tentunya agar dapat
menarik para peminat agar tergiur dengan slogan, “Mazhab
kami adalah mazhab Salaf; Sahabat dan Tabi’în” … Minimal itu
adalah trik pemasaran yang sungguh simpatik dan diharap dapat mendongkrak
tinggkat minat para konsumen.
Mazhab Salaf Bertolak-belakang dengan Faham
Wahhabiyah!
Para tokoh Sekte Wahhabiyah, seperti Ibnu Utsaimin dan
lainnya telah panjang lebar mengkritik segala bentuk usaha mena’wilkan ayat-ayat
atau hadis-hadis sifat. Mereka mengecamnya sebagai slogan kaum Jahmiyah
dan Mu’aththilah… telah menyalai Al Qur’an dan Sunnah serta telah
terjebak oleh kesesatan para filsuf. Kepalsuan slogan mereka ini telah memikat
sebagian pelajar agama yang belum matang pemahaman agamanya. Bahkan tidak jarang
muncul anggapan bahwa mena’wîl ayat-ayat sifat adalah dhalâl, kesesatan,
bid’ah, terjangkit faham Jahmiyah dan para salaf tidak mengenal ta’wîl !!
Akan tetapi, setiap yang mau menyempatkan diri membuka-buka lembaran kitab para
ulama pasti akan mengetahui dengan gamblang bahwa para Salaf; generasi
terdahulu, sahabat, tabi’în dan tabi’ut tabi’în telah melibatkan diri dalam
mena’wil ayat-ayat atau hadis-hadis sifat… mereka menegaskan bahwa dzahir
sebagian ayat sifat itu bukan yang dimaksud olehnya. Dan sikap mereka itu
pastilah diambil dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw. yang shahihah.
Dalam kesempatan ini saya akan sebutkan beberapa contoh dari ta’wîl mereka agar
dimengerti bahwa klaim kaum Wahhabi dalam hal ini adalah tidak berdasar dan
justru bukti-bukti yang ada menentang klaim mereka!
Al Qur’an dan Sunnah Mengajarkan Ta’wîl
1) Allah SWT telah mengajari kita ta’wîl, dalam kitab suci-Nya. Allah SWT berfirman:
نَسُوا اللهَ
فَنَسِيَهُمْ
“mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan
mereka.” (QS.9 [at Taubah] :67)
إِنَّا
نَسِيْناكمْ
“Sesungguhnya Kami telah melupakan kamu.” (QS.32 [as
Sajdah];14)
Ayat-ayat yang menyebutkan sifat lupa bagi Allah SWT haruslah
dita’wîl dengan makna selain makna dzahirnya. Allah Maha Suci dari sifat lupa
kendati kata lupa telah dipergunakan dalam ayat-ayat Al Qur’an untuk Allah SWT.
Kita tidak dibenarkan menetapkan sifat lupa bagi Allah SWT. walaupun dengan
mengatakan bahwa “lupa Allah tidak seperti lupa kita”, seperti yang biasa
dikatakan oleh kaum Musyabbihah/Wahhabi ketika menyebut beberapa sifat Allah
yang tertera dalam Al Qur’an, sebab Allah telah berfirman:
وَ ما كانَ رَبُّكَ
نَسِيًّا
“… dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Q.S. Maryam: 64)
Tidaklah halal bagi seorang yang berakal waras untuk mengatakan
bahwa “Allah lupa, tetapi tidak seperti lupa kita, Allah duduk tetapi tidak
seperti duduk kita, Allah bersemayam di langit tetapi Dia tidak menyerupai
sesuatu apapun.” Kata-kata terakhir (tetapi tidak seperti lupa kita dll.)
tidak berguna sama sekali, ia tidak dapat menghindarkan dari tuduhan
tasybîh dan tajsîm, sebab tidak semua kata yang datang dalam sifat
Allah SWT. dapat ditetapkan sebagai sifat bagi Allah secara lahiriyah.
Ketika kaum Wahhabi mengatakan Allah duduk, Allah turun, maka
tidaklah berguna kata-kata yang mengatakan bahwa duduk dan turun Allah tidak
seperti duduk dan turun kita, sebab turun itu artinya pergeseran dan
perpindahan dari sebuah tempat yang lebih tinggi ke tempat lain yang lebih
rendah, artinya ada gerak di situ, lalu apabila setelah menetapkan sifat itu
bagi Allah SWT kita mengatakan tetapi tidak seperti duduk dan turun kita maka
kita akan menafikannya, baik kita sadari atau tidak.
Jadi kata-kata itu adalah kontradiksi belaka, sebab yang
namanya turun meniscayakan adanya gerak, dan gerak adalah sifat makhluk,
hâdits. Jika dikatakan adanya turun tetapi tanpa gerak, itu tidak logis
dan benar-benar telah menjungkir-balikkan makna bahasa!! Itu adalah kontradiksi
antara pembukaan kalimat dan akhirannya! Berbeda dengan ketika kita mengatakan,
“Allah Maha mendengar, Samî’ tetapi tidak seperti pendengaran kita, Allah
Maha Melihat, Bashîr tetapi tidak seperti penglihatan kita” sebab maksud
“Allah Maha Mendengar” ialah kita menetapkan sifat mendengar, sam’u,
kemudian kita menyucikan Allah dari kebutuhan kepada alat bantu dalam mendengar
yaitu telinga. Di sini dapat dibayangkan adanya sifat mendengar tanpa bantuan
alat kemudian kita menyerahkan kepada Allah pengetahuan tentang bagaimana sifat
Maha Mendengar itu, sebab sifat Dzat Maha Pencipta tidaklah mampu dijangkau oleh
makhluk-Nya yang serba lemah ini. Di sini ada penetapan sifat dan ada penyucian
dari menyerupai makhluk-Nya dan kemudian men-tafwîdh, menyerahkan ilmu tentangnya kepada Allah SWT.
dan itu sangatlah berbeda dengan ucapan kaum Wahhabi, “Allah duduk, Allah
turun tetapi tidak seperti duduk dan turunnya kita.” Seperti telah
disebutkan sebelumnya.
Kenyataan ini akan makin jelas dengan memerhatikan contoh di
bawah ini.
2) Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat hadis
qudsi:
يَا ابنَ آدَمَ مَرِضْتُ
فَلَم تَزُرْنِيْ قال: يا ربِّ كيفَ أَعودُكَ وَ أنتَ ربُّ العالَمِيْنَ، قال: أمَا
علِمتَ أَنَّ عبْدِيْ فلانًا مَرِضَ فلَمْ تَعُدْهُ، أما علمتَ أَنَكَ لو عُدْتَهُ
وَجَدْتَنِي عِنْدَهُْ
“Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia
[hamba] berkata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul
‘Âlamîin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan
sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau
menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR. Muslim,4/1990, hadis
no.2569)
Abu Salafi berkata:
Wahai Anda yang berakal waras, bolehkah kita mengatakan, “Kita
akan menetapkan bagi Allah sifat sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit
kita; makhluk-Nya?!! Bolehkah kita meyakini bahwa jika ada seorang hamba sakit
maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia akan berada di sisi si hamba yang
sakit itu?, dengan pemahaman dzahir teksnya dan dengan tanpa memasukkan unsur
majazi?!! Pasti tidak!!
Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati
Allah dengan “Sakit” atau “Dia sedang Sakit” dia benar-benar telah kafir!
Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ
adalah kata ganti orang pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi
berdasarklan dzahir teks dalam hadis itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah
dzahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus dita’wîl. Demikian
pandangan setiap orang berakal. Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun
mengajarkan ta’wîl kepada kita.
Makna hadis di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut, “Para ulama berkata,
‘disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba
sebagai tasyrîf, pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama
berkata tentang maksud ‘engkau akan dapati Aku di sisinya’ engkau akan
mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku… “ (Syarah Shahih
Muslim,16/126)
Berdasarkan kaidah yang ditegakkan di atas pondasi Al Qur’an
dan Sunnah di atas, para sahabat, tabi’în dan para imam mujtahidîn berjalan
dalam memahami ayat-ayat dan hadis-hadis sifat.
Untuk lebih meyakinkan mari kita ikuti ta’wîl mereka sebagai
terangkum di bawah ini.
Ibnu Abbas ra. Menta’wîl
Di antara sahabat besar yang berjalan di atas kaidah ta’wîl
adalah Sayyiduna Ibnu Abbas ra., anak paman Rasulullah saw. dan murid utama Imam
Ali -karramallahu wajhahu- dan pernah mendapat do’a Nabi saw. , “Ya
Alah ajarilah dia (Ibnu Abbas) tafsir Kitab (Al Qur’an).” (HR. Bukhari)
Telah banyak riwayat yang menukil ta’wîl beliau tentang
ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.
Di bawah ini akan saya sebutkan sebagiannya.
1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat:
يومَ يُكْشَفُ عَنْ
ساقٍ
“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.68 [al
Qalam]:42)
Ibnu Abbas ra. berkata, “Disingkap dari kekerasan
(kegentingan).”
Di sini kata ساقٍ (betis) dita’wîl dengan makna شِدَّةٌ
kegentingan.
Ta’wîl di atas telah disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathu
al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya,29/38. Ia mengawali tafsirnya
dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli
ta’wîl , maknanya ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang
genting.”
Dari sini tampak jelas bahwa menta’wîl ayat sifat adalah metode
para sahabat dan tabi’în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini.Ta’wîl itu
juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair, Qatadah dll.
2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat:
و السَّمَاءَ بَنَيْناهَا
بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan
Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS.51 [adz Dzâriyât] : 47)
Kata أَيْدٍ secara
lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga
lengan, ia bentuk jama’ dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamûs al Muhîth dan
Tâj al ‘Ârûs,10/417.)
Akan tetapi Ibnu Abbas ra’ di sini mena’wîlnya dengan بِقُوَّةٍ dengan kekuatan. Demikian
diriwayatkan al Hafidz Imam Inbu Jarir ath Thabari dalam tafsirnya, 7/27. Selain
dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh tabi’în
dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan
Sufyan.
3) Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat yang menyebut Allah melupakan
kaum kafir dengan ta’wîl ‘menelantarkan/membiarkan’.
Allah SWT berfirman:
فَاليومَ نَنْساهُمْ كما
نَسُوا لِقاءَ يومِهِم هَذَا
“Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana
mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS.7 [al A’râf];51)
Ibnu Jarir berkata:
‘Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat, kami melupakan
mereka, Dia berfirman, Kami membiarkan mereka dalam siksa… “ (Tafsir
Ibnu Jarir,8/201)
Di sini Ibnu Jarir mena’wîl kata melupakan dengan membiarkan.
Dan ia adalah pemalingan sebuah kata dari makna aslinya yang dzahir kepada makna
majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta’wîl tersebut dengan berbagai sanad dari
Ibnu Abbas ra., Mujahid dll. Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan
pakar dalam tafsir Al Qur’an….Mujahid adalah seorang tabi’în agung…Ibnu Jarir
ath Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf…
Catatan:
Para tokoh sentral Sekte Wahhabiyah, seperti Syeikh Abdurrahman
ibn Hasan Âlu Syeikh, tidak meragukan sedikitpun keagungan Ibnu Abbas dan
murid-murid beliau dan bahwa mereka adalah tokoh-tokh ahli tafsir generasi
tabi’în.
Ketika menyebut Mujahid misalnya, Syeikh Abdurrahman ibn Hasan
Âlu Syeikh berkata: “Mujahid adalah Syeikh, tokoh ahli tafsir, seorang Imam
Rabbani, naman lengkapnya Mujahid ibn Jabr al Makki maula Bani Makhzûm. Fadhl
ibn Maimûn berkata, ‘Aku mendengar Mujahid berkata, ‘Aku sodorkan mush-haf
kepada Ibnu Abbas beberapa kali, aku berhenti pada setiap ayat, aku tanyakan
kepadanya; tentang apa ia turun? Bagaimana ia turun? Apa maknanya?.”Ia wafat
tahun102H pada usia 83 tahun, semoga Allah merahmatinya. Ibnu Abdil Wahhab
sendiri telah berhujjah dan mengandalkannya dalam banyak masalah dalam kitab at
Tauhidnya.
Dengan demikian ke-salaf-an mereka tidak diragukan
bahkan oleh Wahhabiyah sendiri!!! Jadi sekali lagi jelaslah bahwa telah tetap
adanya metode ta’wîl oleh para salaf. Dan di atas jalan inilah para ulama,
seperti Imam al Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jadi jika ada yang
menuduh sikap menta’wîl adalah sikap menyimpang dan berjalan di atas kesesatan
faham Jahmiyah, dan ber-ilhad , dalam
ayat-ayat dan asmâ Allah seperti yang dituduhkan kaum Wahhabi, semisal
Ibnu Utsaimin dan kawan-kawannya, maka ia
benar-benar telah kebelinger dan benar-benar dalam kekeliruan nyata!!
Dari sini dapat dimengerti betapa palsunya klaim mengikuti Salaf yang selalu
dipropagandakan kaum Wahhabi untuk menipu kaum awam.
Semoga kita diselamatkan dari kesesatan dan penyimpangan dalam
agama. Amîn Ya Rabbal Âlamin.
___________________________
[1] Sebenarnya, kata-kata itu bukan
disebut sebagai sifat, apalagi Sifat Dzatiyah Allah, ia adalah kata-kata
yang di-idhafah-kan (disandarkan) kepada Allah SWT., seperti: يد الله ,عين الله di nama kata يد di-idhafah-kan/disandarkan kepada
Allah. Jadi pada dasarnya, salahlah mereka yang menyebutnya sebagai sifat!
Berbeda dengan kata: سميع- بصير-عليم
kata-kata itu dan semisalnya benar sebagai kata sifat, jika ia disematkan
untuk Allah maka ia adalah sifat Allah SWT. Semoga kami berkesempatan
menguraikan masalah ini lebih rinci dalam kesempatan lain.
[2] Ta’wîl dimaksud di sini adalah
mengartikan sebuah kata atau kalimat bukan dengan makna dzahir karena ada alasan
yang mengharuskan atau membenarkan pemindahan makna dari makna hakiki kepada
makna majazi. Dan jika ada yang keberatan dengan istilah ta’wil maka kami tidak
keberatan jika istilah itu diganti dengan istilah lain, apapun namaya, sebab
yang penting bagi kami adalah esensi masalah bukan bertengkar tentang istilah
dan penamaan. Harap dimengerti dengan baik!
[3] Dalam artikel lain
insyaallah akan dibahas masalah tafwîdh.
[4] Fathu al Majîd Syarah KItab at
Tauhîd:405.
[5] Ber-ilhad dalam ayat-ayat
dan asma’ Allah adalah sikap memplesetkan ayat-ayat dan asma’
Allah yang sangat dikecam keras dalam Al- Qur’an. Secara bahasa kata ilhâd
artinya membelokkan/memiringkan. Ber-ilhad dalam sifat dan asma’
Allah itu dilakukan dengan salah satu dari tiga sikap, 1) menolak, 2)
menta’wil dan 3) menyalahinya. Menta’wil dalam pandangan Wahhabiyah sama dengan
men-tahrif (memplesetkan/merusak makna hakiki). Ibnu Utsaimin
mendefenisikan tahrîf dengan mengataan, ”Men-tahrif itu merubah
lafadznya atau memalingkan maknanya dari yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya,
seperti ia berkata, kata استوى على العرش
Allah bersemayam di atas Arsy-Nya diartikan menguasai Arsy-Nya.
Atau ينزِلُ ربُّنا إلي السماء الدنيا
Tuhan turun ke langit dunia diartikan dengan turun perkara-Nya, bukan Tuhan
yang turun! (Baca Syarah Aqidah al Washithiyah: 63.) Jadi siapapun yang
menta’wil ayat-ayat sifat berarti ia benar-benar telah ber-ilhad dalam
asmâ’ Allah dan itu sikap menentang dan merusak agama dan ia sangat
terkecam! Demikianlah kaum Wahhabi memahami agama dan menyikapi para sahabat
Nabi mulia dan para Salaf Shaleh! Para sahabat kini mereka tuduh sebagai kaum
Mulhidîn dalam asmâ’ dan ayat-ayat Allah SWT., sementara itu dalam
rangka mengelabui kaum awam mereka mengklaim bahwa mazhab mereka adalah mazhab
para sahabat dan Salaf Shaleh! Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari
mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS.18 [al
Kahfi]:5).
[6] Syarah Aqidah al Washithiyah:
58-63.
Terimakasih Atas Kunjungan Anda!